Follow Now.....!

Sabtu, 07 April 2012

Titanic IMAX 3D

Titanic 3D
Titanic, film arahan James Cameron yang dirilis tahun 1997, seperti halnya kapal legendarisnya adalah sebuah film yang berukuran titan dan gigantik. Film ini mencatat berbagai rekor yang makin menegaskan bahwa film ini "raksasa".
Pertama anggarannya yang mencapai 200 juta dolar ( terbesar waktu itu). Kedua, pemasukan yang diperoleh mencapai 1,8 milyar dolar ( menjadi film terlaris selama lebih dari satu dekade sebelum dipecahkan oleh Avatar, yang juga besutan Cameron).
Dan yang ketiga perolehan 11 piala Oscar. Hal tersebut membuat Titanic semakin mentahbiskan diri sebagai "raksasa" yang sukar untuk ditenggelamkan.
Dengan segala pencapaian luar biasa tersebut di atas, lalu timbul pertanyaan adakah yang belum menyaksikan Titanic? Mungkin itu sebuah pertanyaan retoris bagi sebagian orang. Karena meski telah 15 tahun berselang, Titanic telah mendapat ruang tayang baru serupa kepingan DVD, Blu Ray ataupun sering ditayangkan di televisi lokal kita sehingga nyaris menjadi tayangan regular setiap bulannya.
Namun pihak studio 20th Century Fox, Paramount Picturs dan Lightstorm Entertainment merasa setelah rentang 15 tahun berjalan, masih banyak orang yang belum menyaksikan Titanic dalam format layar lebar. Terutama penonton yang saat Titanic dirilis masih berusia belia dan belum diijinkan untuk menyaksikan Titanic di bioskop.
Sehingga pihak studio lalu memutuskan untuk menampilkan kembali Titanic, tetapi dengan sentuhan "lebih kekinian dan trendi", yaitu dalam format 3D.
Penulis sendiri beruntung dibesarkan di sebuah negeri yang sistem pengawasan bioskopnya sangat lemah seperti di Indonesia. Karena meski ketika Titanic dirilis Penulis masih duduk di bangku sekolah dasar, bisa menyaksikan Titanic di bioskop. Tentunya dengan konsekuensi penutupan mata di adegan-adegan tertentu.
Penulis waktu itu terpukau oleh sensasi yang luar biasa saat menyaksikan Titanic. Bujet "raksasa" yang dikeluarkan untuk film ini menjadi terbayar dengan segala detail, terutama saat menggambarkan Titanic tenggelam dan terbelah dua.
Dan kini 15 tahun berselang, setelah bolak-balik ditayangkan di televisi lokal, Titanic ditayangkan lagi di layar bioskop. Penayangannya sangat kentara sengaja mendekati peringatan satu abad tenggelamnya kapal buatan Inggris tersebut di lautan Atlantik Utara pada 15 April 1912.
15 tahun adalah rentang waktu yang panjang. Apa saja bisa terjadi dalam kurun waktu tersebut. Pun yang terjadi dengan para sineas yang terlibat di Titanic.
Leonardo DiCaprio yang saat itu masih tampak ramping dan sangat muda, kini telah menjadi salah satu aktor papan atas yang dihormati. Dalam rentang 15 tahun DiCaprio telah bekerjasama dengan Martin Scorsese, Steven Spielberg, Christopher Nolan dan akan bekerjasama dengan Quentin Tarantino. Dicaprio juga telah banyak dinominasikan di berbagai ajang penghargaan dalam kurun waktu 15 tahun ini.
Kate Winslet, pemeran Rose Dewitt Bukaters, dalam rentang 15 tahun telah 6 kali dinominasikan di Oscar. Winslet pun meraih piala Oscar untuk kategori aktris terbaik lewat film The Reader (2008). Winslet juga tahun lalu meraih Emmy Awards lewat permainan briliannya di serial Mildred Pierce. Rentang waktu 15 tahun menempa Winslet untuk lebih banyak bermain di film-film art, seperti yang ia tunjukan tahun lalu di Carnage arahan Roman Polanski.

Billy Zane, pemeran tunangan Rose yang bernama Caledon Hackley, tetap menjadi aktor medioker yang semakin tidak terdengar namanya. Karirnya di akting berbanding terbalik dengan dua rekan mainnya di Titanic. Bahkan Zane sempat tersandung kasus penggelapan pajak di tahun 2010.
Sementara di tahun 2012 ini, cerita Titanic tidak berubah. Tetap berfokus kepada kisah cinta Rose Dewitt Bukaters dan Jack Dawson yang berakhir tragis bak Romeo + Juliet.
Yah, kisah tentang tragedi tenggelamnya Titanic sendiri hanya menjadi semacam medium untuk memaparkan kisah percintaan karakter fiktif Jack dan Rose. Di dalamnya lantas ditambahkan semacam sindiran terhadap perbedaan kelas sosial, keserakahan dan keangkuhan manusia yang mengklaim diri mereka adalah yang terbaik di dunia.
Tidak ada yang berubah dalam ceritanya, semuanya masih sama seperti saat pertama kali diputar 15 tahun lali atau seperti yang kita lihat di televisi-televisi lokal. Yang berubah hanyalah visualisasinya yang mendapat sentuhan format 3 dimensi.
Titanic bukanlah film yang dibuat untuk format 3D dan ini adalah film drama. Bukan film aksi fantasi yang penuh dengan efek tembakan, baku hantam ataupun lemparan-lemparan benda-benda yang memang disengaja untuk "keluar" dari layar.
Inilah yang kemudian membuat Penulis tertarik untuk hadir saat screening Titanic 3D dua hari yang lalu. Penulis penasaran seperti apakah film drama percintaan seperti Titanic bila disajikan dalam 3D.
James Cameron sendiri telah dinobatkan sebagai salah satu sutradara yang mampu menyajikan sebuah revolusi baru dalam perfilman. Dia pernah menyajikan revolusi visual di Terminator dan dalam film yang kemudian memecahkan rekor Titanic sebagai film terlaris, Avatar.
Dalam Avatar, James Cameron berhasil menyajikan 3D yang sangat efektif dan tidak hanya terkesan menjadi jualan. 3D di Avatar telah menetapkan standar yang tinggi untuk sebuah film 3D, sesuatu yang kemudian bisa diimbangi oleh Martin Scorsese  di Hugo.
Lalu bagaimana dengan Titanic 3D? Setelah menontonnya, Penulis menilai format 3D di Titanic bertujuan untuk memperkuat dramatisasi di beberapa adegan dan Penulis menilai cukup berhasil.
Efek 3D berhasil tampil maksimal terutama di separuh durasi akhir filmnya. Adegan saat Rose dan Jack berada di depan dek kapal sembari merentangkan tangan terlihat fantastis. Atau saat kamera menyorot beberapa detail benda, kesan "keluar" kamera pun muncul.
Tentu saja adegan puncak saat kapal Titanic tenggelam dan terbelah dua adalah puncaknya.  Juga adegan ketika orang-orang terjun dari kapal ke lautan bisa menimbulkan rasa ngilu di hati. Peristiwa tenggelamnya kapal Titanic di malam bertaburan bintang, juga mampu disajikan dengan lebih dramatis dalam format 3D.
Tapi itu saja. Karena sekali lagi Titanic bukanlah film yang sedari awal ditujukan untuk 3D, sehingga hanya adegan-adegan tertentu saja yang bisa ditampilkan maksimal 3D. Meskipun 3D dalam Titanic mampu memberikan kedalaman gambar dan terkesan berlapis-lapis, tapi bila Anda membuka kacamata 3D yang Anda pakai dan menyaksikannya dalam 2D, Anda tidak akan merasakan kehilangan emosi dan sensasi. Itu yang Penulis rasakan.
Misalnya Anda ingin menyaksikan adegan di tangga ketika Jack meraih tangan Rose di saat pesta makan malam, atau saat mereka berdua berdansa diiringi folk music daerah Irlandia di dek bawah. Adegan-adegan itu tidak ada bedanya baik dalam 2D ataupun 3D.
Atau ketika adegan memorable saat Jack menggamit tangan Rose di tangga sebelum pesta makan malam pertama (dan juga terakhir mereka), sembari iringan musik klasik The Blue Danube karya musisi klasik Johann Strauss. Tidak ada bedanya antara tampilan 2D dan 3D.
Penambahan 3D di Titanic memang membuatnya berbeda, namun tidak istimewa.
Dan patut diingat bahwa durasi Titanic adalah 194 menit, nyaris 3,5 jam. Dan kacamata 3D di jaringan bioskop 21 adalah jenis kacamata yang sangat menyiksa karena menjepit sisi atas telinga dan menimbulkan sakit bila dipakai dalam waktu yang lama.

Jadi bayangkan bila Anda selama 3,5 jam memakai kacamata yang menyiksa seperti itu. Tentu akan membuat Anda tidak betah menyaksikannya berlama-lama.
Titanic memang dipuji dalam menampilkan keakuratan detail saat-saat tenggelamnya kapal tersebut. James Cameron yang juga menulis naskah juga cerdas memasukkan unsur romantis fiktif ke dalam bingkai kejadian nyata sehingga banyak yang mengira bahwa kisah cinta Rose-Jack adalah kisah yang benar-benar terjadi.
DiCaprio dan Winslet juga menampilkan chemistry yang sangat kuat, pemain-pemain lain seperti Kathy Bates, Frances Fisher, Bill Paxton hingga ke pemeran Rose tua, Gloria Stuart, juga menampilkan akting brilian.
Namun kelemahan paling besar di Titanic adalah naskahnya. Sebuah kelemahan yang tidak bisa ditutupi dengan penambahan teknologi 3D sekalipun.
Seperti yang Penulis sebutkan di atas, kisah tenggelamnya Titanic cuma sebagai bingkai. Fokus utama adalah kisah cinta beda kelas sosial Jack dan Rose.
Sistem masyarakat borjuis lahan pertanian dipindahkan ke sebuah kapal super mewah di zamannya. Namun tetap ada pembedaan kelas antara kaum borjuis dan kaum proletar di kapal itu. Kaum borjuis tetap menempati fasilitas nomor satu, dengan pesta-pesta, minuman dan santapan mahal, serta berbalut dengan kepribadian korup dan penuh kepalsuan.
Sementara kaum proletar yang menempati dek paling bawah berpesta dengan cara mereka sendiri, minum bir murahan dan mendapat fasilitas seadanya. Bahkan saat kapal tenggelam kaum proletar tidak mendapatkan kesempatan mendapatkan sekoci. Mereka harus menunggu kaum borjuis mendapatkannya lebih dahulu.
James Cameron memindahkan sebuah kisah yang banyak ditemukan dalam literatur kisah romantis abad ke 19 ke sebuah kapal bernama Titanic dan inilah yang membuat Titanic menjadi biasa setelah bertahun-tahun disaksikan.
Banyak formulasi klise yang diterapkan oleh Cameron di Titanic. Drama 3 babak yang kemudian banyak mendapat eksposisi dan sentuhan teknologi sehingga berkesan rumit dan "berat".
Contohnya karakter Rose. Dia adalah wanita bangsawan abad 19 yang mencoba memberontak mendapatkan kebebasannya. Dia menolak perjodohan paksa, serta memilih "mencicipi" kebebasan dengan seorang pemuda yang jauh di bawah kelasnya. Sebuah pemikiran klise yang tentunya akan dianggap bodoh di zaman sekarang.
Cerita kejadian juga dituturkan oleh Rose tua (diperankan sangat baik oleh mendiang Gloria Stuart). Cara Rose memaparkan kisah kilas baik adalah formula yang sering dipakai di film-film saat sang protagonis atau tokoh antagonis akan menemui ajal atau kondisi sulit, di mana mereka akan bercerita panjang lebar mengenai masa lalu.
Lalu film ini juga menampilkan tindakan-tindakan karakter utama yang dibuat untuk dramatisasi dan memperpanjang durasi.  Saat Rose sudah bisa naik sekoci, dia memilih untuk melompat kembali ke kapal dan ketegangan pun dimulai lagi. Dan ini terjadi setidaknya 3 kali sepanjang durasi film.

Gone with the Wind (1939) atau Breakfast at Tiffany's (1961) sebenarnya juga menyajikan cerita klise. Namun dua film tadi telah meletakannya jauh sebelum Titanic dan kemudian menjadi klasik, serta diikuti oleh berbagai film sesudahnya. Selain itu, kedua film klasik tadi juga dilandasi karakter-karakter serta cerita yang jauh lebih kuat.
Faktor itulah yang membuat saat menyaksikan Titanic untuk ke 3 kalinya, emosi yang Penulis rasakan saat menyaksikan film ini semakin berkurang. Tidak seantusias dan terpukau saat menyaksikan Titanic untuk pertama kalinya.
Aspek artistik memang masih memukau. Setelah 15 tahun Titanic mampu mencengangkan Penulis lewat detail-detail yang sangat spesifik yang sulit ditemukan di film-film setelahnya, namun cuma sebatas itu saja.
Titanic akan dikenang sebagai film dengan aspek artistik dan teknis megah, akan tetapi tidak di cerita. Sehingga sulit untuk memastikan bahwa orang akan tersentuh dengan ceritanya dalam puluhan tahun mendatang.
Penambahan 3D pada Titanic dirasakan tidak lebih dari upaya mengeruk keuntungan lebih besar dengan gaya bahasa eufismisme " ingin memperkenalkan kepada penonton muda yang tidak sempat menyaksikan Titanic di bioskop,". Penulis yakin motif utama disajikannya Titanic dalam 3D adalah murni bisnis.
Meskipun memang harus diakui bahwa studio menampilkan 3D yang digarap secara serius oleh pakar sekelas James Cameron. Ia dikabarkan menghabiskan 18 juta dolar Amerika (sekitar 165,6 milyar rupiah) dan waktu sekitar 60 minggu untuk mengkonversi setiap detail film ke format 3D.
Cara ini juga menjadi strategi marketing cerdas untuk mengumpulkan uang lewat teknologi yang sedang digandrungi, ditambah pemilihan waktu rilis yang sengaja disamakan dengan peringatan 100 tahun tenggelamnya Titanic.
Titanic 3D adalah tentang ketamakan dan kejelian Hollywood dalam meraup uang. Sama seperti kelompok pencari harta karun yang berburu berlian Heart of The Ocean milik Ross, atau para kaum borjuis kapitalis yang menempati dek paling atas di Titanic.
Titanic 3D juga sama seperti karakter pemilik perusahaan pengelola Titanic, White Star Line, bernama Bruce Ismay (diperankan oleh Jonathan Hyde).
Ismay memerintahkan agar kecepatan Titanic ditambah agar membuat media terkesan dan kemudian memberitakannya. Ismay dalam salah satu dialog berujar, "The press knows the size of Titanic. Now I want them to marvel at her speed. We must give them something new to print! This maiden voyage of Titanic must make headlines!,"
Pun dengan Titanic. Meski pun aslinya bukan untuk 3D, film ini kemudian "dipaksa" untuk menjadi 3D dan dijual kembali. Karena film ini besar (dalam segala aspek produksi) dan Hollywood tergoda untuk menegaskan kebesarannya.
Titanic 3D menjadi contoh ketamakan (atau kecerdasan Hollywood?) dalam mengeksploitasi karya terbaiknya agar selalu bisa dijual. Memang semua kembali kepada perspektif masing-masing penonton. Bisa terkesan ataupun biasa saja.
Dan Penulis adalah salah satu pihak yang merasa Titanic 3D adalah biasa saja. Tidak seperti Hugo-Martin Scorsese yang membawa sebuah pengalaman sinematik baru dalam menonton sajian 3D.
NB : Teknologi 3D pada proyektor biasa menyebabkan tingkat terang sebuah film bisa menurun hingga sekitar 20%. Hal ini dikarenakan proyektor yang digunakan untuk memancarkan proyeksi gambar 3D hanya satu. Padahal 3D adalah permainan spektrum gambar antara mata kiri dan kanan. Dalam sajian 3D biasa pembagian spektrum oleh satu proyeksi saja membuat kecemerlangan gambar menjadi terbagi dan kesan lebih gelap menjadi muncul. Beda bila menyaksikan IMAX 3D yang memiliki dua buah proyektor –red. (baca artikel terkait IMAX)


Sumber:chiliblub

0 komentar:

Posting Komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More